Pelajaran dari Thaif, Kebencian Dibalas dengan Kasih Sayang - Cuma Berbagi

Pelajaran dari Thaif, Kebencian Dibalas dengan Kasih Sayang

Peta Kota Thaif (Sumber)
Kisah hebat ini terjadi tidak lama setelah wafatnya sang istri sekaligus pendukung pertama dakwah Nabi Muhamad SAW, Siti Khadijah pada tahun kesepuluh kenabian. Tidak lama setelah wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW. Kisah ini terjadi setelah kaum kafir Qurasy semakin berani mengganggu Sang Nabi, sepeninggal dua orang tokoh pendukung dan pelindung dakwah Nabi yang disegani mereka.

Kisah ini berawal ketika siang itu, secara diam-diam Rasulullah dengan ditemani Zaid bin Haritsah pergi ke Thaif, kota yang terletak sekitar 70 kilometer arah tenggara Kota Makkah. Mereka berdua berjalan kaki di bawah terik panas sang mentari, hanya untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat. Mereka bermaksud meminta pertolongan dan perlindungan dari kabilah Tsaqif, kabilah yang sangat besar jumlahnya. Beliau berpendapat jika penduduk Thaif memeluk Islam, maka kaum muslimin bisa melepaskan diri dari siksaan kaum kafir Qurays yang sedemikian berat.

Setibanya di Thaif, beliau menuju tempat para pemuka Bani Tsaqif, yaitu Abdul Yalil, Hubaib dan Mas’ud. Kepada mereka, beliau menceritakan tentang ajaran agama Islam dan mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, serta meninggalkan ajaran menyembah berhala. Namun bagaimana tanggapan mereka? Mereka menolaknya dengan hinaan yang sangat menyakitkan.

 “Jika memang Tuhan telah mengutusmu sebagai Rasul, berarti kain Ka’bah telah terkoyak!” kata salah satu di antara mereka.

 “Apakah Tuhan tidak mendapatkan orang lain selain dirimu untuk diangkat sebagai rasul?” kata yang lain dengan nada sinis.

Meskipun berbagai hinaan diterimanya, Rasulullah tidaklah berputus asa. Beliau tetap berdakwah di Thaif selama sepuluh hari, meski pada akhirnya tidak ada seorangpun penduduk Thaif yang menerima dakwahnya. Bahkan mereka mengusir Rasulullah dengan kasar.

"Keluar dari kampung kami!" Begitulah teriakan-teriakan mereka.
Sumber: google.com, diedit dengan picpick.exe
Akhirnya, ketika dakwahnya bertepuk sebelah tangan, Rasulullah memutuskan untuk keluar dari Thaif. Dan ketika Rasulullah bersama Zaid berjalan keluar, beliau diikuti oleh penduduk Thaif sambil terus dihina sepanjang jalan. Mereka juga melempari Rasulullah dengan batu, hingga sandal beliau berlumuran darah. Zaid berusaha keras melindungi beliau, walaupun ia sendiri terluka di kepalanya karena lemparan-lemparan batu. Mereka terus mengejar Rasulullah SAW hingga beliau terpaksa mencari perlindungan di sebuah kebun anggur milik Utbah bin Syaibah, putra Rabi’ah.

Rasulullah SAW ditemani Zaid beristirahat dan berteduh di kebun anggur itu sambil membersihkan darah yang mengalir dari lukanya. Dalam kondisi sulit dan sedih inilah, Rasulullah berdo’a kepada Allah SWT.

"Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu akan kelemahan dan ketidak berdayaanku dalam berhadapan dengan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkau adalah Tuhannya orang-orang yang lemah. Dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapa Engkau serahkan aku? Apakah ke jarak jauh Engkau arahkan aku? Apakah kepada musuh Engkau serahkan urusanku?”

“Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Sungguh tiada daya dan kekuatan apapun selain atas ijin-Mu.”

Do’a Sang Nabi segera terjawab. Pemilik kebun anggur tempat Rasulullah SAW beristirahat itu melihat dan mengetahui ada dua orang asing sedang beristirahat. Ia menyuruh tukang kebunnya yang bernama Addas untuk membawakan beberapa tangkai anggur kepada Rasulullah SAW.

Ketika Rasulullah SAW menerima anggur tersebut, dan hendak memakannya beliau membaca basmalah.

 ”Bismillaahir-rahmaanir-rahiim,” ucap beliau.

Mendengar ucapan itu, Addas merasa heran karena ia tak pernah mendengar sekalipun penduduk Thaif mengucapkan kata-kata itu.

 “Tuan bukan penduduk Thaif? Kata-kata Tuan tadi tidak pernah diucapkan oleh penduduk di sini,” tanya Addas dengan penuh rasa heran. “Saya juga bukan penduduk asli sini. Saya seorang Nasrani, berasal dari daerah Ninawa,” lanjutnya.

“Apakah kamu dari negerinya seorang yang saleh bernama Yunus?” tanya Sang Nabi.

Addas merasa heran, kemudian ia bertanya lagi, “Bagaimana Tuan bisa mengenal Nabi Yunus?”

Maka Rasulullah SAW menjelaskan, “Yunus adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan akupun seorang nabi”.

Kemudian Rasulullah SAW membacakan kisah Nabi Yunus AS yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Addas sangat terharu mendengar ayat-ayat yang dibaca Rasulullah SAW, karena isinya sama dengan apa yang telah dipelajarinya dari kitab-kitab terdahulu. Addas pun yakin bahwa orang yang dihadapannya itu seorang yang tak lain adalah utusan Allah SWT. Tanpa ragu-ragu Addas berlutut dihadapan Rasulullah SAW dan mengakui kenabiannya.

Setelah cukup beristirahat, dan keadaan luka­-lukanya sudah agak membaik, Nabi SAW meninggalkan kebun kurma itu untuk meneruskan perjalanan ke Makkah. Meski beliau terhibur dengan ke-Islaman Addas, namun beliau masih merasa teramat sedih, hatinya seperti diiris-iris mendapat perlakuan yang begitu menghinakan dari penduduk Thaif.

Di tengah perjalanan, ketika tiba di sebuah daerah yang bernama Qarnuts Tsa’alib, atau juga disebut dengan Qarnul Manazil, Nabi SAW  berhenti sejenak. Sang Nabi menengadahkan wajah memandang awan yang selalu menaungi selama perjalanannya itu. Dan ternyata Jibril berada di atas sana hendak menyampaikan sesuatu.

“Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu dan apa yang dilakukannya terhadap engkau. Allah telah mengutus seorang malaikat penjaga gunung, agar engkau memerintahkan apapun yang engkau kehendaki!” kata Jibril.

Malaikat penjaga gunung itupun tampil dan berkata, “Wahai Muhammad, semua itu telah terjadi, dan apakah yang engkau kehendaki? Jika engkau inginkan untuk meratakan Akhsyabaini, tentu aku akan melakukannya…”
Sumber: google.com, diedit dengan picpick.exe
Akhsyabaini adalah dua gunung di Makkah, yakni Abu Qubais dan Qa’aiqa’an yang berada di seberangnya. Maksudnya, malaikat penjaga gunung akan mengangkat dua gunung itu dan menimpakannya kepada penduduk Kota Thaif agar Nabi SAW merasa tenang dan hatinya menjadi tentram.

Namun apa jawaban Sang Nabi? Jawaban Nabi Muhammad SAW menunjukkan sikap yang luar biasa hebatnya. Sikap yang menunjukkan akhlak yang luhur, penuh kasih sayang dan kelembutan. Bahkan beliau tetap mengharapkan ke-Islaman mereka kaum Thaif, entah dalam jangka waktu dekat atau yang akan datang.

"Aku justru berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun," jawab Sang Nabi.

Setelah menolak bantuan yang ditawarkan malaikat penjaga gunung, Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah setelah menginap di kebun Al-Muth'im bin Adi. Dan sungguh benar, kini telah lahir dari rahim-­rahim kaum Thaif generasi yang mengesakan Allah SWT dan tidak menyekutukan­-Nya. Dari kaum Thaif, lahirlah para penghafal Al-Qur’an yang hebat dan tak pernah putus dari generasi ke generasi.

Demikianlah salah satu kisah hebat Nabi Muhammad SAW saat membalas kebencian dengan kasih sayang melalui do’a yang beliau panjatkan.

0 Tanggapan untuk "Pelajaran dari Thaif, Kebencian Dibalas dengan Kasih Sayang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel